Halaman

Qq

 

Suppa dalam Lontara’

  • Post author:
  • Post category:Budaya

Kebudayaan daerah merupakan sumber potensial yang membantu terbentuknya kebudayaan nasional, memberikan corak dan warna bagi karakteristik pembentukan kepribadian bangsa. Sangat santer kita dengar belakangan ini tentang perlunya penanaman dan ditumbuhkembangkannya kembali karakter dan jatidiri bangsa, seiring mulai menurunnya minat dan kecintaan kita khususnya sebagai warga negara yang menjadi bagian yang terintegrasi sepenuhnya dari bangsa Indonesia akan ragam warisan budaya dan kearifan-kearifan lokal. Hal ini berakibat pada tergerusnya khazanah budaya bangsa dan dapat menyebabkan punahnya warisan leluhur tersebut begitu saja.

Sulawesi Selatan sebagai sebuah propinsi yang dihuni oleh beberapa suku bangsa juga memiliki ragam dan varian-varian budayanya sendiri. Etnis Bugis sebagai salah satu etnis mayoritas di daerah ini mewariskan beberapa jenis kebudayaan baik berupa tari-tarian, upacara-upacara adat, peninggalan-peninggalan bekas kerajaan-kerajaan lokal yang dulunya pernah ada, dan juga bermacam item lainnya. Salah satu peninggalan etnis Bugis tersebut adalah lembaran-lembaran tertulis yang terhimpun dalam suatu susunan yang kita kenal dengan sebutan naskah lontaraq.

Naskah lontaraq yang asli biasanya ditulis di atas daun lontar dan disimpan dalam bentuk gulungan seperti rol dalam film. Tradisi penulisan di atas daun lontar ini bukanlah dimiliki oleh masyarakat Bugis Makassar saja, tapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, yang juga banyak menuliskan naskah-naskah pada jaman dulu seperti daerah Jawa dan Bali. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa aksara lontaraq yang dipakai oleh masyarakat Bugis sejak dahulu merupakan aksara turunan dari Pallawa yang berasal dari India dan dibawa ke nusantara pada masa persebaran agama Hindu, karena memiliki kesamaan bentuk dan fonem. Salah satu hasil penulisan menggunakan aksara lontaraq yang cukup dikenal oleh dunia adalah epos La Galigo, yang kisahnya melebihi panjang cerita dari epos Mahabharata dari India dan telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai warisan budaya dunia (world heritage).

Naskah lontaraq memang ada yang telah diterjemahkan, namun naskah kuno lontaraq yang khusus menceritakan tentang daerah Suppa Kab. Pinrang saat ini belum banyak diketemukan. Salah satu naskah lontaraq yang telah dialihbahasakan dan diterjemahkan oleh staf BPNB Makassar berjudul toloqna iyarega minruranna Suppa (Alkisah Suppa), berjumlah 29 halaman dengan menggunakan aksara lontaraq Bugis dan bahasa daerah Bugis, dan telah disalin ulang oleh Hajji Paewa, Komisi Sekolah Pensiun Kecamatan Mattiro Bulu dan selesai pada tanggal 04 November 1990. Kisah dalam lontaraq Minruranna Suppa ini menuturkan tentang awal terjadinya peperangan antara Raja Suppa yang memerintah pada waktu itu dengan Kompeni Belanda yang diwakili oleh Kapten Ternate dari Ambon yang bersama seluruh pasukannya hendak menguasai daerah Suppa yang terletak di Kabupaten Pinrang. Pada perjalanannya, Kapten Ternate tersebut melewati beberapa desa dan kabupaten di Sulawesi Selatan sebagaimana yang disebutkan pada naskah ini, diantaranya adalah daerah Segeri, Tanete, Palanro, Bacukiki (Pare-Pare), serta berbagai tempat lainnya.

Diceritakan pada saat memasuki daerah Tanete, Kapten Ternate menuju ke saoraja (istana), dan mengadakan perundingan dengan Raja Tanete. Dia mengajak Raja Tanete untuk turut bekerjasama atau tunduk pada tawarannya untuk ikut serta mengalahkan daerah Suppa. Raja Tanete pun menyatakan diri sia